Penenun Sarung Samarinda |
Sarung Samarinda tidak terlepas dari peristiwa sejarah, berawal dari kedatangan rombongan orang Bugis Wajo yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado) hijrah dari tanah Kesultanan Gowa ke Kesultanan Kutai 1668. Warga Bugis Wajo hijrah sampai ke wilayah Kesultanan Kutai karena mereka tidak mau tunduk dan patuh terhadap Perjanjian Bongaya setelah Kesultanan Gowa kalah akibat diserang oleh pasukan Belanda. Mereka minta suaka dan diterima baik oleh Kesultanan Kutai. Atas kesepakatan dan perjanjian, sultan Kutai Kutai memberikan mereka lahan untuk pertanian dan tempat tinggal. Mereka juga tunduk dan siap membela Raja Kutai yang kala itu wilayah pesisirnya sering menjadi sasaran bajak laut dari Filipina. Perkampungan yang landai serta kemungkinan amanah sultan Kutai agar penduduk yang tinggal di daerah itu cukup beragam namun derajatnya sama baik pendatang maupun warga lokal sehingga disebut "sama rendah". (mungkin itu sebabnya kota ini dinamakan Samarinda).
Warga Bugis Wajo itu dalam perantauannya tetap melestarikan budaya leluhur untuk menenun kain secara tradisional --kini diistilahkan "Alat Tenun Bukan Mesin" atau ATBM-- oleh warga Samarinda Seberang disebut Gedokan. Keahlian membuat kain tradisional terus bertahan beberapa generasi selama ratusan tahun sementara itu daerah dulunya dikenal sebagai kampung "Sama Rendah" kemudian telah berubah menjadi "Samarinda".
Dalam perkembangannya, kain Sarung Samarinda terus mengalami inovasi hasil kreatifitas buah dari adanya "kebhinekaan" atau keanekaragaman budaya antara warga pendatang dan warga lokal. Hal itu tercermin dalam motif kain Tajong Samarinda. Kelembutan sutra Tajong Samarinda kini dipadukan dengan khas budaya lokal, misalnya keanggunan kain Tajong Samarinda terlihat karena dipadukan dengan motif Kutai atau menjadi indah dengan warna-warni ceria berkat perpaduan dengan motif Dayak.
Bukan sekedar menjadi simpul perekat keanekaragaman budaya, selembar kain Tajong Samarinda bisa "bercerita" tentang sebuah tonggak sejarah bangsa, yakni kunjungan pertama kali wakil presiden dan salah satu Proklamator Kemerdekaan RI, yakni Bung Hatta atau Mohammad Hatta. Kain Sarung Samarinda juga memiliki penamaan sesuai motif. Salah satu motif Tajong Samarinda adalah perpaduan warna kotak hitam-merah disebut “Hatama Hassara” (Hatama Hassara dalam bahasa Bugis Wajo berarti hitam-merah). Kini, kain sarung bermotif kotak hitam-merah tidak lagi dikenal sebagai "Hatama Hassara" namun "Belang Hatta". Penyebutan nama salah satu Proklamator Kemerdekaan RI sebagai tanda kehormatan warga Samarinda terhadap Wakil Presiden pada masa Pemerintahan Bung Karno. Bung Hatta saat berkunjung ke Samarinda 1950-an memilih motif "Hatama Hassara" ketika disodorkan kain Tanjong Samarinda sebagai tanda penghormatan warga "Kota Sama Rendah" itu.
Hatama Hassara |
Motif tradisional sarung samarinda adalah kotak-kotak. Seperti
yang digunakan oleh pemerintah Kota Samarinda saat ini. Ada kotak-kotak merah
yang disebut motif hatta, ada kotak-kotak dengan lubang yang besar dan disebut
10 bolong. Semua motif bahkan bisa kita tentukan sendiri, asal sabar menanti selama 15 hari :)
Beragam Motif Sarung Samarinda |
Sayangnya usaha para penenun sarung Samarinda ini mendapat
hambatan dari para pengrajin tekstil pabrikan yang juga meniru motif dan
jahitan dari sarung Samarinda asli. Untuk membedakan sarung tenun asli dan yang
palsu, selain dicantumkan cap ‘sarung tenun asli Samarinda’ juga dicantumkan
alamat pembuatnya, sarung asli juga terdiri dari tiga lapis warna dan dijahit
tengahnya sebagai sambungan. Cara terakhir yang paling ampuh untuk mendapatkan
sarung Samarinda asli adalah dengan datang langsung ke Jalan Pangeran Bendahara
Samarinda Seberang, yang berjarak 8 km dari pusat kota Samarinda, selain bisa
memilih sendiri motif sesuai keinginan, kita juga bisa nenelusuri gang-gang
penenunan dengan suara khas “jeg...jeg” khas mesin tenun.
Harapan saya, semoga Sarung Samarinda ini bisa memiliki hak
paten, sehingga sarung samarinda berserta “Gedokan” tetap jadi ikon ciri khas
Samarinda, kota kita tercinta.
Walikota bersama istri |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar